Kenali Ciri-Ciri Fintech Lending Ilegal


Kemarin saat mudik saya tiba-tiba panik bangat, lantaran kartu ATM yang mau saya pake tiba-tiba tidak bisa digunakan untuk mengambil uang. Jujur saya kaget, dan seketika saya memperhatikan kembali valid thru kartu saya yang ternyata memang sudah lewat beberapa bulan. Dan saya baru sadar akan hal ini karena tidak terlalu memperhatikan valid thru kartu ATM yang ini lantaran jarang mengunakannya selain untuk dana darurat saja.

Saya pun telepon ke call center bank tersebut, alhasil kartu ATM saya tidak bisa digunakan sama sekali, dan saya disarankan untuk mengurus ke cabang bank terdekat dengan membawa buku tabungannya, sedangkan buku tabungannya saya tinggal di Jakarta.

Duh rasanya kesal sekesalnya bangat berada di posisi ini, akhirnya saya coba pinjam uang ke beberapa teman, numun nihil karena tanggalnya sedang menua, alhasil saya hanya mampu terdiam dengan rasa kesal sendiri. Padahal sebenarnya tidak banyak-banyak amat uang yang saya perlukan, hanya sekitar 2-3 juta saja, dan akan segera saya kembalikan saat saya sampai di Jakarta dalam waktu yang tidak sampai seminggu. Namun tidak ada yang bisa meminjamkannya. Hiks!

Di saat itu, saya sempat berpikir untuk melakukan peminjaman online melalui perusahaan fintech lending saja, namun keinginan itu urung saya lakukan karena saya masih diteror rasa takut atas berbagai rumor yang beredar belakangan ini, yaitu ada yang bilang bahwa peminjaman uang online melalui perusahaan fintech itu suka meneror dan menagihnya tidak manusiawi serta sederet isu negatif lainnya. Makanya saya pun akhirnya memutuskan untuk membatalkan keinginan untuk melakukan peminjaman secara online tersebut.

Dan jika saya pikir-pikir lagi, apakah benar peminjaman uang melalui fintech lending atau peminjaman uang secara online itu begitu menyeramkannya? atau itu hanya sebatas rumor saja? atau bagaimana sih sebenarnya fintech lending ini sebenarnya di Indonesia?

Maka berlandaskan berbagai pertanyaan tersebut dan juga rasa penasaran, saya akhirnya memutuskan untuk menghadiri sebuah acara yang digelar oleh Tempo dengan tajuk #NgobrolTempo yang mengangkat tema tentang sosialisasi program fintech peer to peer lending “Kemudahan Dan Risiko untuk Konsumen” yang bertempat di Beka Resto – Balai Kartini, Jakarta Selatan. (23/11/18).

Para Narasumber #NgobrolTempo tentang sosialisasi program fintech peer to peer lending “Kemudahan Dan Risiko untuk Konsumen” dari kiri ke kanan: Bapak Ali, Bapak Hendrikus, Bapak Tumbur Pardede, Bapak Zulfitra dan Bapak Surya.  (23/111/20118) - Doc. Tempo.co

Tampak hadir dalam acara ini Bapak Hendrikus Passagi selaku Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Bapak Tumbur Pardede selaku Ketua Bidang Kelembagaan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sekaligus merupakan CEO & Founder FINTAG, Bapak Zulfitra Agusta selaku Chief Commercial Officer Crowdo Indonesia dan Bapak Surya Wijaya selaku Chief Information Officer KlikAcc dengan dimoderatori oleh Bapak Ali Nuryasin yang merupakan seorang Redaktur Ekonomi Tempo.

Sesuai dengan temanya, acara ini hadir untuk memberikan sosialisasi terkait kehadiran fintech yang kini mulai marak di negeri ini, terutama dari sisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pemangku kekuasaan dalam menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan.          

Selain itu, hal ini dilakukan juga oleh OJK lantaran melihat bahwa pertumbuhan industri fintech di negeri ini semakin hari semakin marak. Namun di sisi lain juga terjadi polemik di tengah masyarakat dengan maraknya fintech yang meresahkan masyarakat. 

Untuk itu, diharapkan dengan adanya acara sosialisasi seperti ini maka masyarakat luas bisa semakin mengerti tentang seperti apa kemudahan dan risiko dari hadirnya fintech peer to peer lending yang kini terus berkembang di negeri ini.      

Perkembangan Fintech di Indonesia

Hal ini pun dijelaskan oleh Bapak Hendrikus Passagi bahwa tidak bisa kita pungkiri, pesatnya pertumbuhan teknologi yang ada telah merubah sebagian besar aspek kehidupan kita saat ini, tidak terkecuali dalam bidang keuangan yang menyebabkan lahirnya inovasi dalam layanan keungan berbasis teknologi informasi yang biasa disebut dengan financial technology atau fintech.

"Pada dasarnya arti dari fintech itu sendiri merupakan singkatan dari dua kata yaitu Financial dan Technology. Jadi Fintech bisa diartikan sebagai layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi yang kini hadir seiring dengan berkembangnya teknologi yang ada di negeri ini." Ujar Bapak Hendrikus.


Perkembangan fintech di Indonesia sendiri saat ini bisa dibilang mulai menjamur, namun awal kehadirnya di negeri ini diperkirakan sekitar pada tahun 2006 silam dan terus tumbuh seiring waku. Lalu  pada tahun 2017 fintech Indonesia memiliki nilai transaksi sebesar US$15,02 miliar (Rp202,77 triliun) tumbuh 24,6% dari tahun sebelumnya. 

Dan hingga akhir tahun 2018, pertumbuhan fintech di Indonesia semakin menggeliat dengan merambah ke berbagai sektor. Dimana cakupan jasa keuangan yang ada dalam payung fintech secara global ini terdiri dari beberapa kategori seperti:
  • Pembayaran (payment) ini menyangkut card payments, point of sale payments, e-money, transfer, remittances dan e-wallet.
  • Pendanaan (Funding) ini seperti Fintech P2P lending, equity based crowd funding, dan social based crowd funding.
  • Perbankan (Digital banking) ini terkait consumer and commercial banking dan juga banking infrastructure.
  • Pasar Modal (Capital Market) ini menyangkut e-brokerage, e-mutual funds trading dan dork pools trading.
  • Perasuransian (Insurtech) ini terdiri dari agent dan brokerage
  • Jasa pendukung lainnya (support fintech) terdiri dari dua yaitu basic enabler (e-KYC, Digital signature, security system, audit trall & recovery) Advance enabler (Credit information& scoring, big data analytics, robo advisor, Artificial intelligence, blockchain)
Makanya tidak heran kenapa fintech bisa terus tumbuh, karena memang mempunyai banyak kategori yang dilayaninya. Dan saya kira selama ini fintech itu hanya terkait dengan pendanaan atau funding saja, ternyata cakupannya sangat luas. Dan perkembangan fintech di Indonesia kian hari terus tumbuh seiring dengan perkembangan teknologi digital dan dukungan internet yang semakin hari juga semakin berkembang pesat.

Senada dengan itu, Bapak Tumbur Pardede juga menjelaskan bahwa perkembangan fintech sendiri tentu saja tidak bisa dipungkiri dapat memberikan banyak manfaat bagi banyak pihak, baik dari sisi konsumen, pelaku bisnis ataupun secara ekonomi.
  • Dimana manfaatnya bagi konsumen adalah terjadi perluasan pilihan produk menjadi semakin beragam, lalu terjadi peningkatan kaulitas layanan, dan terjadi penurunan harga.
  • Sedangkan manfaat perkembangan fintech bagi pelaku bisnis tentu saja akan memperpendek rantai transaksi, meningkatkan efisiensi modal dan operasional, meningkatkan iklusi keuangan dan memperlancar arus informasi.
  • Selanjutnya manfaat perkembangan fintech bagi ekonomi adalah mencakup percepatan transmisi kebijakan moneter, meningkatkan kecepatan uang beredar dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dan dalam perkembangannya hingga saat ini, berdasarkan data dari OJK sesuai dengan peraturan OJK No. 77 tahun 2016, bahwa ada 73 perusahaan fintech yang sudah terdaftar secara resmi di OJK per 8 Oktober 2018. Dimana ada 71 perusahaan fintech konvensional dan 2 lagi merupakan fintech yang berbasis syariah. Untuk mengecek daftar nama perusahaan fintech ini bisa langsung ke websitenya OJK. (Daftar Fintech di OJK per 8 Oktober 2018)

Untuk saat ini, ke 73 perusahaan fintech ini mayoritas masih berdomisili di daerah Jabodetabek yaitu sebanyak 72 perusahaan dan sisanya ada di Bandung. Dan diprediski seiring waktu, perusahaan fintech ini akan terus tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, terlebih jika dilihat jumlah akumulasi transaksi peminjam (borrower) yang sudah menyebar hampir di seluruh propinsi dengan total 7.226.063 akun hingga saat ini.

Ciri-ciri Fintech P2P Lending Ilegal

Namun tak bisa kita pungkiri, seiring perkembangan dan tumbuhnya fintech yang semakin banyak, semakin banyak pula rumor-rumor tidak enak yang mengiringinya perkembangannya, seperti: rentenir online, penyalahgunaan akses data contact, ataupun cara penagihan yang tidak beretika, dan sederet rumor lainnya.

Padahal yang melakukan berbagai hal yang tidak menyenangkan itu belum tentu perusahaan fintech yang legal, tetapi dilakukan oleh fintech-fintech ilegal yang memang tidak terdaftar di OJK ataupun tidak masuk dalam lingkup Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

Untuk itu, sangat penting bagi kita semua tahu seperti apa sih fintech yang ilegal itu, terutama dalam hal fintech lending supaya kita tidak terjebak dalam perangkap mereka yang akan membuat kita malu dan tersiksa karena berhutang pada perusahaan fintech yang salah.

Padahal kita semua tahu, bahwa pada sejatinya fintech lending itu merupakan sebuah wadah atau platform yang menghubungkan antara lender dan borrower yang sudah memiliki payung hukum seperti yang tertuang dalam POJK77/pojk.01/2016 yang mengatur tentang pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi.

Namun dalam prakteknya, selain 73 perusahaan yang tercatat di OJK ini, masih banyak lagi perusahaan fintech yang tersebar namun secara ilegal. Dan diakui oleh Bapak Hendrikus Passagi bahwa fintech lending ilegal selalu berupaya menghindari pendaftaran di OJK sebab mereka memang sejak awal tidak ingin transparan bahkan berupaya menyamarkan identitas pemilik dan pengelola serta alamat kantornya di Indonesia.

Untuk itu, sangat penting bagi kita untuk selalu mewaspadai hal ini agar tidak tertipu oleh perusahaan fintech lending ilegal. Nah, supaya tidak terjebak dalam kasus fintech lending ilegal, maka silahkan dibaca baik-baik berikut ini ciri-ciri fintech lending ilegal, yaitu sebagai berikut:
  1. Kantor dan pengelola tidak jelas dan sengaja disamarkan keberadaannya
  2. Syarat dan proses peminjaman sangat mudah
  3. Menyalin seluruh data nomor telepon dan foto-foto dari handphone calon peminjam
  4. Tingkat bunga dan denda sangat tinggi dan diakumulasikan setiap hari tanpa batas
  5. Melakukan penagihan online dengan cara intimidasi dan mempermalukan para peminjam melalui seluruh nomor handphone yang sudah disalin.
Nah ciri-ciri fintech lending ilegal di atas harus dicatat baik-baik ya teman-teman supaya tidak menjadi korban dari fintech ilegal. Sebab ciri-ciri fintech lending seperti inilah yang belakangan ini meresahkan masyarakat dan membuat orang-orang menjadi semakin malas untuk melakukan peminjaman secara online seperti yang saya singgung di awal cerita tadi.

Tips Pembiayaan Aman Melalui Fintech Lending

Nah, selain waspada dari ciri-ciri fintech lending ilegal seperti yang sudah disinggung di atas, maka jika kita ingin tetap aman saat terlibat dalam hal ini, baik sebagai peminjam (borrower) ataupun Pemberi Pinjaman (Lender) maka kita pun tetap harus waspada dan teliti.


Untuk itu, berikut ini adalah tips untuk peminjam atau borrower agar tetap aman dalam melakukan peminjaman uang secara online lewat perusahaan fintech peer to peer lending yaitu harus:
  1. Cek legalitas perusahaan fintech tersebut apakah sudah terdaftar atau berizin di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jika belum maka jangan melakukan peminjaman pada perusahaan tersebut.
  2. Nominal pinjaman wajib sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan meluniasi (maksimal 30% dari penghasilan), jadi jangan maksain diri untuk pinjam banyak padahal tidak akan mampu membayar.
  3. Baca dan cermati baik-baik syarat dan ketentuan (misalnya bunga dan denda) dari perusahaan peminjam, dan tidak semua perusahaan fintech lending memiliki syarat dan ketentuan yang sama.
  4. Sebelum melakukan peminjaman, bisa lakukan perbandingan penawaran peminjaman antar perusahaan fintech lending yang ada.
  5. Bila terjadi permasalahan atau pelanggaran dengan perusahaan fintech yang terdaftar di OJK maka bisa melaporkannya ke Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan OJK.

Diharapkan dengan tips ini maka masyarakat tidak lagi perlu terlalu cemas dalam menggunakan fintech peer to peer lending dalam melakukan peminjaman uang secara online. Karena seperti yang diungkapkan oleh Bapak Zulfitra Agusta bahwa sebenarnya kehadiran fintech peer to peer Lending merupakan salah satu akses pendanaan yang mudah dan cepat yang bisa jadi pilihan masyarkat karena semuanya bisa dilakukan dengan mudah dan cepat berkat kecanggihan teknologi yang ada saat ini. 
 
Selain itu, hadirnya fintech P2P Lending ini tentu saja akan mengakselerasi pertumbuhan usaha kecil dan menengah sehingga secara tidak langsung akan membantu perkembangan di sisi ekonomi masyarakat sehingga taraf hidup bisa lebih baik lagi.

Hal ini juga yang diakui oleh  Bapak Surya Wijaya yang merupakan Chief Information Officer KlikAcc yang saat ini sangat konsen dalam membangun kerjasama dan kemitraan dengan para pelaku UMKM yang ada, agar para pelaku UMKM ini bisa terus tumbuh dan menjadi pelaku UMKM yang maju dan sejahtera nantinya.

Namun, Bapak Surya Wijaya juga berujar bahwa perusahaan Fintech P2P Lending dinilai sangat perlu untuk melakukan edukasi dan pendampingan finansial kepada borrower supaya pendanaan bisa tepat guna dan tidak terjadi kredit macet.

Selain itu, hal ini juga perlu dilakukan untuk meminimalisir kesalahpahaman masyarakat dengan maraknya isu-isu negatif yang menerpa perusahaan fintech belakangan ini, sehingga diharapkan dengan semakin terbukanya informasi dan edukasi seperti sosialisasi ini, maka masyarakat bisa semakin mengerti dengan baik dalam memilih fintech peer to peer lending yang legal dan aman.


Selain itu, jika kita dalam posisi sebagai pemberi pijaman atau lender, maka kita pun harus tetap hati-hati agar tidak tertipu juga. Nah, berikut tips untuk pemberi pinjaman (lender), yaitu:
  1. Cek legalitas perusahaan fintech tersebut apakah sudah terdaftar atau berizin di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau belum.
  2. Pahami resiko setiap calon peminjam sesuai dengan score peminjaman yang ada di platform.
  3. Diverifikasi pemberian peinjaman
  4. Bandingkan resiko kredit dan imbal hasil peminjam antar perusahaan fintech
  5. Bila terjadi permasalahan atau pelanggaran dengan perusahaan fintech yang terdaftar di OJK maka bisa melaporkannya ke Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan OJK.

Dan ditegaskan oleh Bapak Tumbur Pardede bahwa sangat penting bagi masyarakat untuk bisa membedakan fintech legal dan ilegal, makanya diharapkan dengan tips di atas maka masyarakat bisa terhindar dari fintech yang nakal dengan memilih fintech legal yang sudah terdaftar di OJK dan juga bergabung dalam AFPI sehingga resikonya lebih kecil dan bisa dilaporkan bila bermasalah.

Selain itu, kabar baiknya lagi, ke depan nanti, OJK juga akan segera membuat surat edaran terkait aplikasi fintech ini sehingga perusahaan fitech memiliki koridor hukum yang jelas. Dimana dalam surat edaran tersebut nantinya akan dipaparkan soal kriteria perusahaan fintech dan pihak ketiga, sebagai penagih, sehingga bisa mengurangi hal-hal buruk yang tejadi.

Dimana nantinya syarat untuk menjadi pihak ketiga atau penagih pinjaman online harus terverifikasi dan tersertifikasi supaya para penagih ini mengerti cara penagihan yang baik yaitu dilakukan dengan menggunakan bahasa dan tata cara yang benar dan terprosedur dan akan selalu dicermati oleh OJK.

Semoga dengan langkah ini, masyarakat semakin aman dan nyaman dalam menggunakan fintech lending sebagai bagian dari kemudahan dalam menggunakan layanan keungan berbasis teknologi informasi di era yang serba digital saat ini. Namun ingat, tetap selalu waspada!


No comments:

Post a Comment