Catatan hati Luna (2)



Menapaki malam pertamaku disini, ada rasa asing yang merayapiku, mungkin karena aku belum mengenal dekat satu pun dari para penghuni kosan ini kecuali Mang Ujang dan Oma pemilik kos-kosan ini. 

Ternyata di lantai dua, semua kamar penuh kata Mang Ujang, selain ada aku, ternyata didepan kamarku ada Mas Pindo, kemudian ada Teh Yanti dan Kang Dony di kamar tengah, sedang di kamar belakang ada Uda Rendy dan Riana. Sepertinya malam ini mereka semua belum pulang. Hanya ada Teh Yanti sepertinya, soalnya lampu kamarnya tampak menyala.

Malam ini aku memilih merebahkan diri sambil menikmati acara TV. Tapi lama-lama aku dirasuki rasa bosan lantaran tak ada satupun tayangan yang seru malam ini meski sudah ku mencoba ganti berbagai channel.

“Ngapain yah supaya malam ini suasananya tidak terasa mencekam seperti ini?” pikirku kusut. Namun seketika aku teringat isi BBM kemarin sore yang membuat aku kembali tertegun dalam diam.

“Kenapa kini dia berubah?” Gumamku seraya mengenang suatu kisah yang pernah kami lewati di suatu sore. 

Saat itu aku duduk bersisian dengannya di sebuah taman, memandangi langit yang pekat karena mendung yang menggelayut kala itu.

Aku dan dia tak ada yang bersuara, hanya hening yang mentas dengan leluasanya, Sampai akhirnya aku beranikan diri memulainya.

"Jadi, apa yang sebenarnya telah terjadi padamu?" Tanyaku meragu. 

Dia sendiri hanya menundukan wajah. Seolah ada beban berat dipundaknya, dia tampak belum siap untuk membaginya dengan siapapun.

"Kalau kamu tidak berkenan, tidak apa-apa, aku tidak akan memaksa." Ujarku lagi mencoba mengerti keadaannya.

Dia menatap mataku dengan lekat, bibirnya tampak mulai bergerak hendak berkata sesuatu. Aku menunggunya dengan penasaran, tapi aku sendiri mendadak gemetar, entahlah…, seolah apa yang hendak ia katakan adalah sesuatu yang membuatku takut.

Lalu, ia berkata "aaaku.. aaku..." namun gerimis mendadak turun sehingga membuat kami berlarian mencari tempat untuk berteduh.

"Mas, permisi… Mas Bumi..."  dan tiba-tiba ketukan Mang Ujang membuyarkan lamunanku.

"Ah, si mamang, ada apa sih malam-malam begini" Gerutuku sembari membuka pintu kamarku.

“Mas Bumi, maaf saya ganggu, saya cuma mau bilang, Oma minta fotokopy KTP sama nomor HP buat database anak kost disini. Kalau belum ada sekarang, besok juga tidak apa-apa” Ucap Mang Ujang panjang lebar namun tetap santun.

"Oh, iya Mang Ujang. Besok saya siapkan ya" Balasku diiringi senyuman kecut.

“Okey Mas Bumi selamat istirahat, saya pamit dulu” ujar Mang Ujang meninggalkan aku sendiri.

Ah gara-gara si mamang, hilang deh mood ngelamunku. Humm.. kulihat kembali acara TV yang sedari tadi menyala, ah masih acara yg sama, tidak ada satu pun yang bisa mengusir sepiku.

“Aku ingin Blog walking saja” Gumamku senang seolah menemuan jalan membunuh sepi,
Tapi saat aku hendak mengambil laptop diatas meja, tampak buku catatan yang kutemukan kemarin.

“Ah, buku itu” ku meraihnya dan menatapnya dengan lekat. 

“Luna..,” Ku membaca nama yang tertera disampul itu dengan sangat lirih.

Entahlah, seperti sebuah dejavu, sejak kemarin aku melihat buku tersebut, sampulnya jelas mengingatkanku pada sesuatu. "Pohon, rumput, seseorang yang tertidur bersandar, semilir angin, awan dan biru langit"

“Siapa luna? Seperti apa dia? Kenapa buku ini tidak ia bawa serta?” Hatiku kembali penasaran.
Kubuka lagi lembar pertama yg sempat kubaca kemarin. Puitis, namun tragis. Lanjutku dalam hati.

“Salahkah jika aku mebaca buku catatan ini?” Risauku seketika hadir, ada sebersit rasa bersalah yang membuat ku urung membuka halaman selanjutnya.

Tiba tiba, angin malam berhembus lembut melompat dari jendela kamarku. Dingin mengembara masuk dengan leluasa. Ku melangkah mendekati jendela kamar yang terbuka dan hendak ku tutup rapat, namun mataku tercuri oleh sebongkah sinar yang memancar ditengah langit sana. 

“Ah, bulan malam ini tampak indah. Bulan? Luna? Apa ini sebuah pertanda bahwa aku boleh membaca buku tersebut?” ada-ada saja caraku membenarkan penarasanku, ledekku pada diri sendiri.

Segera kututup jendela kamarku, lalu kembali ku meraih buku tadi yang tergeletak diatas meja, dan kubaca halaman berikutnya yang tadi telah ditandai dengan penyekat pita pada buku tersebut.

Sama seperti kalimat di lembar pertama. Apa yang tertulis di halaman berikutnya juga membuatku kembali terdiam.


17 Jan
Adalah rasa dan cinta yang mampu menyelaraskan jiwa-jiwa asing tak bertuan. Menyandingkannya pada ruang-ruang seolah tanpa sekat. Memantulkan ragam bayang, mengimajikan pikir yang lalu mengirisnya pada kejadian yg tak disengaja.
Rasa, jiwa, ruang, bayang, kejadian, ketidaksengajaan, mungkin itulah cinta dalam definisi sederhananya.
Apa kau tahu alasan dibalik kenapa kita takkan pernah bisa memahami arti kehilangan selagi kita tak benar-benar mengalaminya sendiri. Dan itu tak berlaku untuk perasaan bahagia?
Curiga, marah, kecewa, tertawa, dendam, senyum, benci, cinta, rindu, dan semua dramanya memang tak terpisahkan dalam kisah.
Seperti curiga yang kini merasuk lorong-lorong sepi, kepingan hati merajam kecewa yang bertemakan duka, remuklah sajak-sajak rindu yang digilas musim, luruh bersama air langit yang turun diujung senja yang bias.
Mendung, hujan, panas, dingin, api, angin, air, udara, tanah, batu, kayu, semua melukiskan luka yang menguliti ingatanku satu per satu.
Yaaa adalah aku yang menanggung luka, pada akhirnya hatiku yang lebam dihantam rindu yang bertubi-tubi, namun tak ada jalan menguntainya menuju hatimu yang terlanjur beku.
Rindu ini jahanam, hadir diantara tanya keraguan yang tak jua enyah berkelebat di jantungku, rindu yang akhirnya menitikan air mata diam-diam.
Cahaya, pelita, gulita, bara, gelap, sunyi, sepi, hening, semua bercerita sembari merambati jengkal waktu dengan jemari-jemari manjanya.
Tapi kamu, dia, mereka, dan entah siapa lagi, semua melumat warasku menyerupai gila.

Berat sekali rasanya mencerna kalimat-kalimat barusan, keluhku dalam hati, bahasanya indah, puitis, namun aku butuh waktu yang lumayan lama untuk mengulang membacanya supaya aku bisa memahami apa maksudnya. Padahal baru selembar itu saja yang aku baca tapi aku sudah merasa sangat ngantuk, maka aku memutuskannya untuk tidur saja.

Lampu kamar kupadamkan, namun sebuah benda tiba-tiba jatuh dengan sangat keras.

“BRUUUUK”


B e r s a m b u n g…

2 comments:

  1. Aduh, kaget!! Suara 'brukk' apa ituh?
    Hiiii.... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tunggu lanjutannya ya Un, itu suara apa ya yang jatuh? saya juga penasaran.. hehehehe

      Delete