
Di ujung meja dapur yang selalu harum kenangan,
tergeletak sepotong brownies, sunyi dan sederhana.
Kulitnya retak-retak, cokelat pekat,
dengan aroma kakao yang menyeruakkan masa lalu.
Brownies itu bukan sekadar kue.
Ia adalah doa yang dipanggang perlahan dalam loyang keikhlasan.
Ibu—dengan tangan renta dan tatapan yang selalu lembut,
mengaduk adonan seperti sedang menenangkan badai dalam dada.
"Untukmu," katanya, dulu,
sambil menabur kenangan di atas permukaannya—
sejumput kenakalan masa kecil,
serpihan tawa yang meletup di antara lelahnya hari-hari.
Aku menggigitnya pelan.
Rasa manisnya mengelupas waktu,
membawaku kembali pada pagi yang dingin dan seragam kusut,
saat Ibu menyelipkan sepotong brownies ke dalam kotak bekal
dengan catatan kecil: jangan lupa makan, ya.
Kini, di antara dinginnya sore dan sunyinya rumah yang tak lagi penuh suara,
brownies itu menjadi saksi bisu:
bahwa kasih tidak selalu berbentuk pelukan,
kadang ia mengendap dalam loyang panas
dan mengeras manis di lidah yang menyimpan rindu.
Aku tahu, Ibu mungkin tak bisa membuatnya lagi.
Tangannya kini lebih sering gemetar,
dan dapur itu lebih sering sepi.
Tapi di hatiku, setiap gigitan adalah pelukan—
hangat, lembut, dan tak pernah benar-benar pergi.
Sepotong brownies,
adalah puisi paling sunyi yang pernah Ibu tulis dengan cinta.
Dan aku, akan selalu membacanya,
selamanya.
Ia adalah doa yang dipanggang perlahan dalam loyang keikhlasan.
Ibu—dengan tangan renta dan tatapan yang selalu lembut,
mengaduk adonan seperti sedang menenangkan badai dalam dada.
"Untukmu," katanya, dulu,
sambil menabur kenangan di atas permukaannya—
sejumput kenakalan masa kecil,
serpihan tawa yang meletup di antara lelahnya hari-hari.
Aku menggigitnya pelan.
Rasa manisnya mengelupas waktu,
membawaku kembali pada pagi yang dingin dan seragam kusut,
saat Ibu menyelipkan sepotong brownies ke dalam kotak bekal
dengan catatan kecil: jangan lupa makan, ya.
Kini, di antara dinginnya sore dan sunyinya rumah yang tak lagi penuh suara,
brownies itu menjadi saksi bisu:
bahwa kasih tidak selalu berbentuk pelukan,
kadang ia mengendap dalam loyang panas
dan mengeras manis di lidah yang menyimpan rindu.
Aku tahu, Ibu mungkin tak bisa membuatnya lagi.
Tangannya kini lebih sering gemetar,
dan dapur itu lebih sering sepi.
Tapi di hatiku, setiap gigitan adalah pelukan—
hangat, lembut, dan tak pernah benar-benar pergi.
Sepotong brownies,
adalah puisi paling sunyi yang pernah Ibu tulis dengan cinta.
Dan aku, akan selalu membacanya,
selamanya.
No comments:
Post a Comment