Sore itu hujan turun pelan, membasahi trotoar dan meninggalkan aroma tanah yang khas. Saya melangkah masuk ke sebuah kafe kecil di sudut jalan, tempat yang biasanya saya pilih untuk menenangkan pikiran setelah hari yang panjang.
Lampu-lampu kuning menggantung rendah, musik jazz mengalun lembut, dan barista tersenyum ramah saat saya memesan secangkir kopi hitam. Tak ada firasat apa pun bahwa sore itu akan berubah menjadi pertemuan dengan masa lalu.
Saya memilih duduk di dekat jendela, memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di balik kaca. Saat itulah saya melihatnya. Awalnya hanya punggung seseorang yang terasa familiar, lalu ia menoleh sedikit. Waktu seakan melambat ketika mata kami bertemu. Dia—mantan kekasih yang dulu begitu dekat, kini terasa seperti orang asing yang saya kenal terlalu baik. Jantung saya berdegup lebih cepat, sementara pikiran saya sibuk mencari cara untuk bersikap biasa saja.
Ia tersenyum, senyum yang dulu sering membuat saya merasa pulang. Dengan ragu, ia menghampiri meja saya. Kami saling menyapa, canggung namun sopan, seperti dua orang yang sedang mengukur jarak yang telah tercipta selama bertahun-tahun. Saya mempersilakannya duduk. Secangkir kopi tambahan pun dipesan, seolah kafe itu sengaja memberi ruang bagi percakapan yang tertunda.
Kami mulai berbincang tentang hal-hal ringan. Pekerjaan, kesibukan, dan kota yang kini terasa berbeda. Di sela-sela kata, kenangan lama muncul tanpa diminta: tawa yang dulu mudah pecah, mimpi-mimpi yang pernah kami susun berdua, dan janji yang akhirnya tak sampai pada tujuan. Ada jeda-jeda sunyi yang tak terasa janggal, justru penuh makna. Sunyi itu berbicara lebih banyak daripada kalimat yang kami ucapkan.
Saya memperhatikan perubahan pada dirinya. Cara bicaranya lebih tenang, tatapannya lebih matang. Mungkin waktu telah mengajarinya banyak hal, sama seperti saya. Tak ada lagi rasa marah atau kecewa yang dulu sempat menetap lama di dada. Yang tersisa hanyalah rasa hangat bercampur haru, seperti membuka kotak kenangan lama dan menemukan isinya masih utuh, meski tak lagi ingin dimiliki.
Hujan di luar mulai reda. Cahaya sore menyelinap masuk, menciptakan pantulan lembut di permukaan meja. Kami tertawa kecil mengingat hal-hal sepele yang dulu terasa penting. Tak ada pembahasan tentang mengapa kami berpisah, seolah itu sudah menjadi cerita yang selesai ditulis. Kami hanya menikmati momen singkat itu, tanpa berharap lebih.
Saat waktunya berpisah, kami berdiri dan saling mengucapkan selamat jalan. Tak ada pelukan, hanya senyum tulus dan doa diam-diam agar masing-masing baik-baik saja. Saya melihatnya melangkah keluar kafe, menyatu dengan keramaian kota.
Saya kembali duduk, menyesap sisa kopi yang sudah mulai dingin. Di dalam hati, saya bersyukur. Pertemuan tak sengaja itu mengajarkan saya bahwa tidak semua yang berakhir harus disesali.
Beberapa kisah memang diciptakan hanya untuk dikenang, bukan diulang. Dan sore itu, di sebuah kafe kecil, saya akhirnya benar-benar melepaskannya dengan hati yang lega.



No comments:
Post a Comment