
Pagi itu pasar tampak seperti biasa, ramai, riuh, dan penuh warna. Aroma sayur segar bercampur dengan bau tanah basah sisa hujan semalam. Saya melangkah menyusuri lorong-lorong sempit dengan niat sederhana, berbelanja kebutuhan dapur untuk beberapa hari ke depan.
Namun niat itu perlahan berubah menjadi perenungan kecil tentang satu hal yang sering kita anggap sepele, yaitu pelayanan.
Lapak pertama yang saya datangi menjual sayur mayur. Tomat merah tersusun rapi, cabai hijau masih basah, dan kangkung tampak segar. Saya menyapa penjualnya dengan senyum. Namun balasannya hanya tatapan datar, bahkan cenderung sinis.
Lapak pertama yang saya datangi menjual sayur mayur. Tomat merah tersusun rapi, cabai hijau masih basah, dan kangkung tampak segar. Saya menyapa penjualnya dengan senyum. Namun balasannya hanya tatapan datar, bahkan cenderung sinis.
Saat saya bertanya harga, jawabannya singkat dan ketus, seolah pertanyaan saya adalah beban. Saya mencoba tetap ramah, tapi suasana sudah terlanjur kaku. Ada rasa malas yang tiba-tiba muncul, bukan karena barangnya, melainkan karena sikap yang membuat saya merasa tidak diinginkan sebagai pembeli.
Saya berpindah ke lapak lain. Kali ini penjualnya menyambut dengan anggukan kecil dan nada suara yang jauh lebih hangat. Ia menjelaskan kualitas barang dagangannya dengan sabar, bahkan memberi saran mana yang paling segar untuk dimasak hari itu.
Saya berpindah ke lapak lain. Kali ini penjualnya menyambut dengan anggukan kecil dan nada suara yang jauh lebih hangat. Ia menjelaskan kualitas barang dagangannya dengan sabar, bahkan memberi saran mana yang paling segar untuk dimasak hari itu.
Tanpa sadar, saya membeli lebih banyak dari rencana awal. Bukan karena saya membutuhkan semuanya, tapi karena saya merasa dihargai. Di situlah saya sadar, berbelanja bukan hanya soal transaksi, tapi juga soal perasaan.
Pengalaman pertama terus terngiang di kepala. Saya teringat betapa seringnya kita, sebagai pembeli, memilih untuk pergi tanpa berkata apa-apa ketika dilayani dengan buruk. Bukan karena kita sombong, melainkan karena lelah menghadapi sikap judes yang membuat dompet terasa berat sebelum dibuka.
Pengalaman pertama terus terngiang di kepala. Saya teringat betapa seringnya kita, sebagai pembeli, memilih untuk pergi tanpa berkata apa-apa ketika dilayani dengan buruk. Bukan karena kita sombong, melainkan karena lelah menghadapi sikap judes yang membuat dompet terasa berat sebelum dibuka.
Ada semacam keengganan yang tumbuh diam-diam, dan lama-kelamaan berubah menjadi kebiasaan: menghindari lapak tertentu, toko tertentu, bahkan orang tertentu.
Suatu hari, saya kembali bertemu pedagang yang sama dengan sikap tak ramah itu. Lapaknya masih di tempat yang sama, tapi kini terlihat lebih sepi. Saya berdiri sejenak di depan dagangannya, ragu untuk mendekat. Ia tetap tak menyapa, seolah kehadiran saya tak berarti.
Suatu hari, saya kembali bertemu pedagang yang sama dengan sikap tak ramah itu. Lapaknya masih di tempat yang sama, tapi kini terlihat lebih sepi. Saya berdiri sejenak di depan dagangannya, ragu untuk mendekat. Ia tetap tak menyapa, seolah kehadiran saya tak berarti.
Tanpa berpikir panjang, saya melangkah pergi. Bukan dengan rasa marah, tapi dengan keputusan tenang bahwa saya tak ingin menghabiskan energi di tempat yang membuat saya merasa tidak nyaman.
Dari pengalaman-pengalaman kecil itu, saya belajar bahwa keramahan adalah modal yang tak terlihat, tapi dampaknya nyata. Senyum, sapaan, dan sedikit kesabaran bisa menjadi pembeda antara pembeli yang datang sekali dan pembeli yang kembali berkali-kali. Sebaliknya, sikap judes dan pelayanan yang buruk perlahan mengusir pelanggan, tanpa perlu kata-kata.
Kini, setiap kali berbelanja, saya selalu memilih tempat yang membuat saya merasa diterima. Karena pada akhirnya, berbelanja bukan hanya tentang membawa pulang barang, tetapi juga tentang membawa pulang perasaan yang baik.
Dari pengalaman-pengalaman kecil itu, saya belajar bahwa keramahan adalah modal yang tak terlihat, tapi dampaknya nyata. Senyum, sapaan, dan sedikit kesabaran bisa menjadi pembeda antara pembeli yang datang sekali dan pembeli yang kembali berkali-kali. Sebaliknya, sikap judes dan pelayanan yang buruk perlahan mengusir pelanggan, tanpa perlu kata-kata.
Kini, setiap kali berbelanja, saya selalu memilih tempat yang membuat saya merasa diterima. Karena pada akhirnya, berbelanja bukan hanya tentang membawa pulang barang, tetapi juga tentang membawa pulang perasaan yang baik.
Dan untuk pedagang yang lupa akan hal itu, mungkin mereka tak sadar, yang hilang bukan hanya pembeli, tapi juga kepercayaan.


No comments:
Post a Comment