Aku duduk di bangku kayu ini lagi. Di bawah pohon tua yang sudah lama tak meneteskan daun, hanya diam yang bersuara. Sore ini begitu kosong, nyaris tak bernyawa, seperti aku setelah kau patahkan.

Dulu, kita pernah duduk di sini. Tertawa karena hal-hal sepele. Mengukir nama kita di kulit pohon, seolah cinta kita akan tumbuh seteguh batangnya. Bodohnya aku percaya, padahal kau hanya sedang menanam dusta.

Minyak zaitun bukan cuma sekadar pelengkap salad ala-ala menu diet Mediterania. Di balik botol kecilnya yang elegan, minyak ini menyimpan segudang manfaat kesehatan yang luar biasa. Bahkan, banyak ahli gizi menyebutnya sebagai “liquid gold” alias cairan emas, karena khasiatnya benar-benar berharga.


Kau ajarkan aku cinta dengan dusta,
menyulam janji di atas pasir yang retak.
Katamu aku satu-satunya,
nyatanya aku hanya jeda di antara langkahmu yang serakah.

Kalau boleh jujur, saya dulu ogah banget makan daun pepaya. Rasanya pahit, warnanya hijau pekat, dan aromanya pun kurang bersahabat. Tapi siapa sangka, ternyata di balik kepahitannya, daun dan bunga pepaya menyimpan segudang manfaat untuk kesehatan tubuh kita. Setelah tahu khasiatnya, saya malah jadi mulai terbiasa, bahkan sesekali rindu rasa pahitnya.


Saya lupa persisnya sudah berapa kali saya duduk termenung di depan layar laptop sambil menunggu aplikasi terbuka. Rasanya seperti menunggu gebetan yang tak kunjung balas chat. Jantung dag-dig-dug, kepala makin pening lantaran deadline terus berdetak seperti bom waktu. Sebagai seorang pekerja kreatif yang hidup dari ide dan waktu, laptop lambat itu bukan cuma gangguan. Ia seperti mimpi buruk yang merusak lelapnya tidur.

Mungkin ini terdengar klise, tapi saya yakin banyak juga orang lain yang pernah ada di posisi saya ini. Di satu sisi, kita dituntut untuk cepat, serba bisa, dan multitasking. Di sisi lain, perangkat kerja kita malah jadi beban, memicu emosi meningkat lebih cepat tanpa mampu diredam.



Aku terhempas dalam arus yang tak menentu,
antara rindu yang mendesah dan benci yang bergema pilu.
Bagaikan ombak yang tak jemu mencumbu karang—
dengan cinta yang menggigil, dan marah yang tak pernah tenang.

Dalam hidup ini, kita sering kali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tampaknya sepele, tapi sebenarnya sangat menentukan untuk menggapai impian besar yang kita dambakan. Salah satunya adalah memilih bank. Dan setiap orang punya alasan masing-masing. Ada yang karena promosi menarik, ada yang ikut-ikutan teman, dan ada juga yang sekadar karena kantor cabangnya dekat rumah.

Tapi buat saya, memilih bank bukan cuma soal kemudahan transaksi atau desain kartu debit yang keren. Ini tentang rasa percaya, tentang nilai-nilai yang saya pegang dalam mengelola uang yang saya titipkan di bank tersebut.