Pagi itu pasar tampak seperti biasa, ramai, riuh, dan penuh warna. Aroma sayur segar bercampur dengan bau tanah basah sisa hujan semalam. Saya melangkah menyusuri lorong-lorong sempit dengan niat sederhana, berbelanja kebutuhan dapur untuk beberapa hari ke depan. 

Namun niat itu perlahan berubah menjadi perenungan kecil tentang satu hal yang sering kita anggap sepele, yaitu pelayanan.


Sore itu hujan turun pelan, membasahi trotoar dan meninggalkan aroma tanah yang khas. Saya melangkah masuk ke sebuah kafe kecil di sudut jalan, tempat yang biasanya saya pilih untuk menenangkan pikiran setelah hari yang panjang. 

Lampu-lampu kuning menggantung rendah, musik jazz mengalun lembut, dan barista tersenyum ramah saat saya memesan secangkir kopi hitam. Tak ada firasat apa pun bahwa sore itu akan berubah menjadi pertemuan dengan masa lalu.


Awalnya, persahabatan kami terasa sederhana dan hangat. Saya dan Dimas (bukan nama sebenarnya) sudah berteman sejak bangku kuliah, melewati masa-masa sulit bersama: uang pas-pasan, tugas menumpuk, dan mimpi-mimpi besar yang sering kami bicarakan di warung kopi murah dekat kampus.

Sudah lama sekali saya tidak merasakan momen seperti ini, momen sederhana tapi begitu berarti. Setelah berbulan-bulan terjebak dalam rutinitas kerja yang monoton, akhirnya saya bisa bernapas lega. Libur kali ini ingin saya manfaatkan maksimal, dan tanpa pikir panjang, saya pun segera iya-kan saat seorang teman mengajak untuk kumpul-kumpul.
Sekolah Pesisi Juang hadirkan pendidikan gratis untuk anak nelayan di pesisir Mataram - (Foto: IG @sekolah.pesisi.juang)

Di tepi Pantai Bintaro, ketika matahari mulai condong ke barat dan suara ombak menggulung pelan, sekelompok anak berkumpul di sebuah pondok sederhana. Mereka duduk bersila, sebagian menggambar di atas tikar, lainnya memelototi buku cerita bergambar dengan mata penuh rasa ingin tahu. Di tempat yang barangkali lebih akrab sebagai lokasi tambatan perahu nelayan, berdirilah sebuah sekolah tak biasa, Sekolah Pesisi Juang, rumah belajar gratis bagi anak-anak pesisir yang dulu hampir tak pernah membayangkan bisa menyebut diri mereka sebagai murid.



Aku duduk di antara waktu yang tak lagi utuh,
menghitung detik yang tak memberi kabar,
sementara bayangmu masih menetap
di sisi ingatan yang enggan pulang.



Aku tak pernah menyiapkan hati
untuk perjumpaan seajaib itu…
di antara hiruk napas dunia,
kau hadir seperti jeda
yang menenangkan seluruh gemuruh waktu.