Rayakan Puncak Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat Dengan Pertunjukan Wayang Orang


Indonesia ini sungguh negara yang sangat kaya akan seni dan kebudayaannya, karena hampir setiap daerah memiliki karya seni yang berbeda-beda. Untuk itu, keragaman seni dan budaya ini patut kita jaga bersama agar tetap lestari selama-lamanya.

Dan salah satu pertunjukan seni yang baru-baru ini berhasil mencuri perhatian saya adalah wayang orang. Karya seni pertunjukan tradisional yang berasal dari tanah Jawa ini begitu indah untuk dinikmati, karena wayang orang ini merupakan seni tradisional yang mampu memadukan seni tari, seni drama, seni musik, dan seni rupa sekaligus dalam membawakan sebuah cerita.

Menariknya lagi, kehadiran wayang orang bukan hanya menjadi sebuah hiburan semata, namun juga menjadi produk kebudayaan yang penuh dengan filsafat dan pendidikan yang mampu mengajarkan kita untuk memahami falsafah hidup, etika, dan tuntutan budi pekerti agar semakin bijak dalam menjalani kehidupan ini.

Makanya saya senang banget, ketika kemarin akhirnya bisa menonton langsung pertunjukan wayang orang yang melakonkan cerita Gatutkaca, sungguh sebuah pengalaman yang sangat berkesan, karena selama ini saya hanya mendengar cerita tentang Gatutkaca dari dongeng atau buku cerita saja.

Pengalaman saya menonton pertunjukan wayang orang ini saya dapatkan saat menghadiri acara puncak Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat - ‘Bapak Antropologi Indonesia’ yang digelar pada tanggal 15 Juni 2023 kemarin di Bentara Budaya Jakarta.


Mengenal Sosok Bapak Koentjaraningrat

Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Untuk itu, sebelum saya menceritakan keseruan saya menonton wayang orang dengan lakon Gatutkaca tersebut, maka saya ingin bercerita sedikit tentang sosok di balik adanya penyelenggaraan acara pementasan wayang orang ini, yang tak lain dan tak bukan adalah Bapak Koentjaraningrat.

Potret Pak Koen bersama istri tercinta

Bapak Prof. Dr. Koentjaraningrat atau yang akrab disapa Pak Koen ini merupakan sosok utama yang begitu berjasa bagi perkembangan dunia pendidikan Indonesia, terutama dalam mendirikan dasar-dasar ilmu Antropologi di Indonesia.

Sepanjang hidupnya, Bapak Koentjaraningrat sudah mendedikasikan banyak waktunya untuk perkembangan Ilmu Antropologi, pendidikan Antropologi dan segala sudut pandang yang berkaitan dengan kebudayaan dan kesukubangsaan di Indonesia. Oleh sebab itu, beliau diberi gelar kehormatan sebagai Bapak Antropologi Indonesia oleh Lingkar Budaya Indonesia (LBI).

Tak perlu heran kenapa beliau begitu cerdas, karena lelaki kelahiran Yogyakarta pada tanggal 15 Juni tahun 1923 ini sudah rajin belajar sejak kecil. Berkat terlahir sebagai keturunan bangsawan pada masa itu, beliau pun mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan dasarnya di sekolah Europeesche Lagere School dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang merupakan sekolah yang hanya diperuntukan bagi anak-anak Belanda.

Selain itu, pada masa mudanya, Pak Koen pun sering menghabiskan waktunya bermain di lingkungan Keraton, sehingga membuat beliau menjadi begitu tertarik akan dunia seni dan kebudayaan Jawa yang kemudian perlahan membentuk kepribadiannya menjadi seorang Antropolog.

Tak berhenti di situ saja, rupanya Pak Koen ini kemauan belajarnya sangat tinggi, maka di waktu senggangnya saat SMA, Pak Koen yang terbiasa disiplin dan mandiri sejak kecil ini sangat senang melukis dan juga menggemari untuk mempelajari tarian Jawa di Tejakusuman.

Bahkan kerennya lagi, bersama para sahabatnya yaitu Koesnadi (fotografer) dan Rosihan Anwar (tokoh Pers), Pak Koen ini pun sangat rajin menyambangi rumah seorang dokter keturunan Tionghoa untuk membaca, diantaranya disertasi-disertasi tentang antropologi milik para pakar kenamaan.

Namun ilmuwan yang fasih berbahasa Inggris dan Belanda ini ternyata mulai tertarik pada bidang Antropologi sejak menjadi Asisten Profesor G.J. Held, seorang Guru Besar Antropologi di Universitas Indonesia yang mengadakan penelitian lapangan di Sumbawa.

Dan untuk kuliahnya sendiri, ternyata Pak Koen ini telah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Bahasa Indonesia pada tahun 1953. Kemudian beliau berhasil meraih gelar Master of Arts di bidang Antropologi, dari Yale University pada 1956, lalu beliau juga berhasil meraih gelar Doktor Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1958.

Pak Koen berhasil menulis banyak buku selama hidupnya

Sungguh salut ya dengan ketekunan beliau yang terus semangat belajar, maka tidak heran bila Pak Koen pun berhasil merintis berdirinya 11 jurusan Antropologi di berbagai Universitas di Indonesia, bahkan beliau pun aktif mengajar dan juga menulis banyak hal berkaitan dengan Kebudayaan dan Pembangunan di Indonesia sejak 1957 hingga 1999. Dimana hasil tulisan-tulisan beliau tersebut berhasil dituangkan dalam 22 buku dan juga diterbitkan lebih dari 200 artikel di berbagai makalah ilmiah dan surat kabar di Indonesia maupun mancanegara.

Melalui tulisan yang dihasilkannya, beliau mengajarkan tentang pentingnya mengenal masyarakat dan budaya bangsa sendiri. Maka tidak heran karya-karya dan pemikiran beliau ini kerap menjadi acuan penelitian mengenai sosial budaya dan masyarakat Indonesia, baik oleh para Ilmuwan Indonesia maupun asing.

Bahkan kerennya lagi, segala buah pemikirannya dan berbagai karya yang beliau hasilkan sampai saat ini masih menjadi buku yang wajib untuk dibaca oleh para mahasiswa Antropologi Indonesia seperti ‘Pengantar Ilmu Antropologi Indonesia’.

Maka dengan segala sumbangsih dan pengabdiannya yang luar biasa pada perkembangan ilmu Antropologi di Indonesia, tidak heran bila pria dengan nama lengkap dan gelar kebangsawanannya KPH Prof DR Koentjaraningrat ini berhasil mendapatkan berbagai penghargaan yang luar biasa, antara lain:
  • Penghargaan ilmiah Doctor Honoris Causa dalam Ilmu-ilmu Sosial dari Rijksuniversiteit Utrecht, Negeri Belanda pada 1978 dan penerima Grand Prize dari 6th Fukuoka Asian Cultural Prizes pada 1955.
  • Anugerah Satyalencana Dwidja Sistha dari Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia pada tahun 1968.
  • Anuegrah Satyalencana Dwidja Sistha dari Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia pada tahun 1982.
Selain itu, dengan semua perjuangan dan juga segala pencapaian yang beliau terima sejauh ini, maka tidak berlebihan bila sosok Antropolog Pertama Indonesia ini terus dikenang segala jasanya meskipun beliau telah tutup usia karena penyakit stroke pada Selasa, 23 Maret 1999 yang silam.


Mengenang 100 tahun Koentjaraningrat

Dari cerita di atas, jelas kita jadi tahu, bahwa Bapak Koentjaraningrat merupakan sosok yang mempunyai peran sangat besar dalam mendeskripsikan sejarah dan kebudayaan Indonesia dan berpengaruh besar perkembangan bidang Antropologi di Indonesia. Maka tidak heran, untuk mengenang segala jasa beliau selama ini, digelarlah Pameran Budaya dan Seni ‘Peringatan 100 tahun Koentjaraningrat’ pada tahun ini.

Ibu Stien memberikan sambutan dalam acara puncak peringatan 100 tahun Koentjaraningrat

Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Stien Koentjaraningrat (Putri Tertua Bapak Koentjaraningrat) dalam sambutannya di acara penutupan Pameran Budaya dan Seni ‘Peringatan 100 tahun Koentjaraningrat’ kemarin, beliau mengungkapkan bahwa acara ini terdiri dari berbagai kegiatan yang dimulai dari tanggal 8 – 15 Juni 2023.

Serangkaian acara dalam ‘Peringatan 100 tahun Koentjaraningrat’ ini juga merupakan moment membanggakan dan bersejarah dalam merayakan jasa-jasa, kerja keras, semangat dan dedikasi Prof. Dr. Koentjaraningrat pada pendirian dan pengembangan ilmu Antropologi Indonesia.

Dan gelaran acara yang sarat kebudayaan dan kesenian ini berhasil diselenggarakan oleh Keluarga Besar Koentjaraningrat tentu tak lepas dari dukungan banyak pihak yang sangat menjunjung tinggi dedikasi dan sumbangsih Prof. Dr. Koentjaraningrat terhadap pengembangan Antropologi di masanya hingga kini yakni: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Indonesia, Kompas Gramedia, Bentara Budaya, AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation) dan Fullbright Indonesia.

Dimana pameran gelaran budaya dan seni ini telah dibuka sejak tanggal 8 Juni 2023 yang lalu dengan diresmikan oleh Bapak Hilmar Farid Phd, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Indonesia.

Namun sebelumnya, pihak keluarga dan kerabat terlebih dahulu berziarah ke makam almarhum Bapak Koentjaraningrat di Pemakaman Umum Karet Bivak, yang bertepatan dengan tanggal meninggalnya beliau pada tanggal 23 Maret 2023 yang lalu.

Pameran berupa lukisan dan sketsa karya Pak Koen

Dalam kurun waktu pelaksanaan acara ini sejak tanggal 8 – 15 Juni 2023 sudah diisi dengan berbagai kegiatan yang sangat menarik, diantaranya ada pameran karya lukisan dan sketsa dari Pak Koen, juga ada berbagai seminar, peluncuran buku, kajian antropologi, dan berbagai acara seru lainnya.

Dan untuk menutup semua rangkaian acara ‘Peringatan 100 tahun Koentjaraningrat’ maka digelarlah sebuah persembahan berupa Pagelaran Wayang Orang Bharata tepat pada tanggal 15 Juni 2023 malam yang menandai tepat 100 tahun kelahiran beliau.

Untuk pagelaran Wayang Orang yang dihadirkan dalam acara puncak ini merupakan persembahan khusus sekaligus dedikasi dari keluarga besar untuk Pak Koen yang sangat menjunjung tinggi dunia tari dan pewayangan terutama Wayang Orang. Bahkan dulu di masa mudanya, beliau sangat menggandrungi dunia pewayangan dan juga senang menari Jawa.


Pagelaran Wayang Orang dengan Lakon Gatutkaca Kinormatan

Tak sia-sia rasanya menyempatkan diri tetap datang untuk melihat secara langsung acara penutupan ‘Peringatan 100 tahun Koentjaraningrat’ yang ternyata ada persembahan spesial berupa Pagelaran Wayang Orang dengan Lakon Gatutkaca Kinormatan.

Sungguh, persembahan wayang orang yang menceritakan Gatutkaca Dapat Beasiswa ini disajikan begitu apik oleh Sanggar 'Suko Reno Sekaring Budhaya' yang disutradarai oleh Ibu Surip Handayani dengan menampilkan sebanyak 16 Penari dan 13 Tim Karawitan.

Beberapa adegan dalam pementasan wayang orang dengan lakon Gatutkaca Dapat Beasiswa

Jadi, persembahan wayang orang yang dipentaskan pada malam penutupan ini menceritakan tentang perjalanan hidup Raden Gatutkaca yang penuh perjuangan dan dedikasi kepada bangsa dan negaranya melalui jalur pendidikan sosial dan budaya.

Dimana kisahnya diawali dengan kelahiran jabang tetuko (sebutan lain Raden Gatutkaca) dari sepasang orang tua yang penuh cinta kasih. Kemudian, kelahiran jabang bayi disambut oleh Dewa yang turun dari kahyangan karena melihat potensi jabang bayi tersebut adalah seorang anak yang sakti.

Nah, dengan perintah sang Dewa, maka jabang bayi tersebut dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka hingga dalam sekejap jabang bayi tumbuh membesar dan kuat, lalu selanjutnya diutus menumpas angkara murka yang mengganggu ketenangan kahyangan.

Jabang bayi tersebut lalu diberi nama Raden Gatutkaca, bocah sakti tersebut mampu menumpas para raksasa hingga mendapatkan anugerah dari Raja Dewa, diberikan kekuasaan menjadi Raja Kahyangan lamanya 3 tahun lamanya.

Namun tidak hanya itu, Raden Gatutkaca disarankan untuk lebih memperdalam ilmu dan memperkaya kekuatan dengan berguru pada Anoman (penggambaran 4 warna sifat watak manusia) sehingga berhasil mendapatkan beasiswa dari AMINEF/FULBR.

Foto bersama usai pagelaran wayang orang dengan lakon Gatutkaca dapat beasiswa

Menonton persembahan wayang orang dengan lakon Gatutkaca Kinormatan ini sungguh sangat menarik, bukan hanya alur ceritanya saja yang berkesan, namun para pemain yang ikut dalam pertunjukan ini benar-benar sangat menawan, mereka mampu memainkan perannya dengan sangat apik, didukung oleh kostum, musik dan tarian yang indah, sehingga membuat persembahan ini sangat memukau.

Saking asyiknya menikmati pertunjukan wayang orang ini, rasanya persembahan mereka sekitar setengah jam itu terasa kurang lama, saya belum puas menikmati pementasan mereka dan pengen rasanya untuk menambah durasinya lagi. 😊

Saya berharap, gelaran acara seperti ini kelak bisa menjadi agenda rutin yang terus dilakukan, karena kegiatan seperti ini bukan hanya bisa mempersembahkan hiburan semata, namun juga menjadi sebuah wadah untuk tetap merawat dan melestarikan kebudayaan dan seni di Indonesia.


No comments:

Post a Comment