Showing posts with label Fiksi. Show all posts
Showing posts with label Fiksi. Show all posts

Aku duduk di bangku kayu ini lagi. Di bawah pohon tua yang sudah lama tak meneteskan daun, hanya diam yang bersuara. Sore ini begitu kosong, nyaris tak bernyawa, seperti aku setelah kau patahkan.

Dulu, kita pernah duduk di sini. Tertawa karena hal-hal sepele. Mengukir nama kita di kulit pohon, seolah cinta kita akan tumbuh seteguh batangnya. Bodohnya aku percaya, padahal kau hanya sedang menanam dusta.


Kau ajarkan aku cinta dengan dusta,
menyulam janji di atas pasir yang retak.
Katamu aku satu-satunya,
nyatanya aku hanya jeda di antara langkahmu yang serakah.



Aku terhempas dalam arus yang tak menentu,
antara rindu yang mendesah dan benci yang bergema pilu.
Bagaikan ombak yang tak jemu mencumbu karang—
dengan cinta yang menggigil, dan marah yang tak pernah tenang.



Kau yang pernah menetap,
di antara rindu dan kecewa yang menyiksa,
dan pada gerimis yang merinai dingin,
kau kembali membawa harapan,
melambungkan anganku yang lama terlelap.


Di ujung malam yang tak berbintang,
namamu masih menggema di relung hati.
Wajahmu, yang dulu mengisi setiap sudut pikiranku,
sekarang hanya bayang-bayang yang tersisa,
terbawa angin, hilang bersama waktu.

Di malam yang sunyi, angin berbisik lembut, seolah mengingatkan pada suara lembut yang pernah akrab di telinga. Aku duduk sendiri di teras rumah, menatap langit yang penuh dengan bintang. Namun, tak satu pun bintang itu bisa menggantikan cahayamu yang dulu selalu hadir di setiap malamku.

Hari-hari berlalu tanpa jejak, dan aku hanya bisa menunggu, seperti daun yang menanti hujan, seperti bunga yang mengharapkan matahari terbit. Ada waktu-waktu ketika aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya soal waktu, bahwa kau akan kembali. Tapi semakin lama, aku semakin terjebak dalam hening yang tak berujung. Tak ada kabar, tak ada jejak, hanya kenangan yang semakin pudar, seiring berjalannya waktu.

 


Lelah rasanya harus menunggangi rindu sendiri

Seperti bunga yang tiba-tiba patah dari tangkainya

Tak lagi mekar dengan warna yang berseri

Hanya mampu memeluk luka dalam kesepian yang tak kunjung usai


Bila mencintaimu tak lagi boleh,

maka bantu aku menghapusnya,

lapangkan harapku untuk menyudahi segalanya dengan tabah.


Kau tahu apa yang paling kubenci saat ini?

Dikepung rasa rindu yang tak kunjung enyah,

Masih menempatkanmu sebagai satu-satunya penawar,

Padahal hubungan kita sudah lama kelar.





Apakah ini tandanya aku masih cinta? 
Setiap kali kau terluka, aku selalu ikut merasa sakit.

 


Tolong, cukup aku!

Hati yang patah ditikam kecewa bertubi-tubi

Setelah kumenyerahkan segalanya

Lalu kau lupakan aku begitu saja