Sepi yang Kau Sisakan


Aku duduk di bangku kayu ini lagi. Di bawah pohon tua yang sudah lama tak meneteskan daun, hanya diam yang bersuara. Sore ini begitu kosong, nyaris tak bernyawa, seperti aku setelah kau patahkan.

Dulu, kita pernah duduk di sini. Tertawa karena hal-hal sepele. Mengukir nama kita di kulit pohon, seolah cinta kita akan tumbuh seteguh batangnya. Bodohnya aku percaya, padahal kau hanya sedang menanam dusta.

Dan semua terungkap, waktu itu aku melihatmu, tak sengaja. Di sudut kafe kecil, tanganmu menggenggam tangannya seperti dulu menggenggamku. Matamu menatapnya dengan cara yang dulu membuatku ingin tinggal untuk selamanya. Kini aku ingin lari. Tapi kakiku beku, seperti hatiku yang kau dinginkan dengan kebohongan.

“Kau salah paham,” katamu kemudian. Ah, kalimat klasik yang lebih hampa dari harapan yang kau tinggalkan. Lucunya, aku masih sempat berharap saat kau mencoba menjelaskan, padahal aku tahu, bibirmu sudah menyanyikan nama lain ketika memelukku.

Cinta itu bukan soal siapa yang paling kau puja di depan banyak orang, tapi siapa yang kau jaga diam-diam saat tak ada yang melihat. Dan nyatanya, aku hanya jadi bayang-bayang dari kisah yang kau bisikkan pada dia di balik gelap.

Kau tahu? Benciku bukan karena kau memilihnya. Tapi karena kau membiarkanku percaya, saat hatimu sudah penuh dengan dia.

Benciku lahir bukan dari putus, tapi dari semua janji yang kau buat untuk tidak ditepati.
Dari setiap tatapmu yang hangat, padahal niatmu dingin seperti cuaca yang kini menyelimuti soreku.

Sekarang aku tak menangis lagi. Air mataku sudah habis oleh harapan yang sia-sia. Yang tersisa hanyalah dendam yang tak berteriak, dan benci yang diam-diam tumbuh seperti akar dari pohon tua ini—pelan, tapi mencengkeram.

Pergilah. Bawalah cintamu yang kau bagi-bagi itu. Aku tak ingin jadi pilihan dalam permainan hatimu.
Aku lebih baik sendiri dalam sepi yang jujur, daripada dicintai dalam keramaian yang palsu.

Dan jika suatu hari kau kembali, jangan cari aku di tempat ini. Karena yang kau tinggalkan hari ini, sudah belajar mencintai luka, dan tak ingin disembuhkan olehmu lagi.

No comments:

Post a Comment