Showing posts with label Puisi. Show all posts
Showing posts with label Puisi. Show all posts


Kau ajarkan aku cinta dengan dusta,
menyulam janji di atas pasir yang retak.
Katamu aku satu-satunya,
nyatanya aku hanya jeda di antara langkahmu yang serakah.



Aku terhempas dalam arus yang tak menentu,
antara rindu yang mendesah dan benci yang bergema pilu.
Bagaikan ombak yang tak jemu mencumbu karang—
dengan cinta yang menggigil, dan marah yang tak pernah tenang.



Kau yang pernah menetap,
di antara rindu dan kecewa yang menyiksa,
dan pada gerimis yang merinai dingin,
kau kembali membawa harapan,
melambungkan anganku yang lama terlelap.


Di ujung malam yang tak berbintang,
namamu masih menggema di relung hati.
Wajahmu, yang dulu mengisi setiap sudut pikiranku,
sekarang hanya bayang-bayang yang tersisa,
terbawa angin, hilang bersama waktu.


Seketika aku kehilangan kata-kata
Mulutku kaku dan terbungkam fakta
Hanya air mata yang mampu bercerita
Betapa pedihnya kehilangan di depan mata
Dunia Berkabung, berkalung duka penuh nestapa

 


Lelah rasanya harus menunggangi rindu sendiri

Seperti bunga yang tiba-tiba patah dari tangkainya

Tak lagi mekar dengan warna yang berseri

Hanya mampu memeluk luka dalam kesepian yang tak kunjung usai


Beginikah rasanya menunggu kepastian? 

Gelisah menari diantara kecemasan yang hilir mudik, 

terombang-ambing diantara kenyataan dan harapan yang masih kabur, 

tanda tanya pun bergemuruh, riuh menyesakan dada.

 


Kemana engkau pergi?

Hilang tak lagi tampak,

Raib tak pernah berkabar,

Meninggalkan banyak tanya


Bila mencintaimu tak lagi boleh,

maka bantu aku menghapusnya,

lapangkan harapku untuk menyudahi segalanya dengan tabah.


Kau tahu apa yang paling kubenci saat ini?

Dikepung rasa rindu yang tak kunjung enyah,

Masih menempatkanmu sebagai satu-satunya penawar,

Padahal hubungan kita sudah lama kelar.





Apakah ini tandanya aku masih cinta? 
Setiap kali kau terluka, aku selalu ikut merasa sakit.

Senja, adalah wajahmu yang tenang,

mendamaikan gelisah yang merayu di petang sepi,

penawar segala luka yang tersesat dari matamu,



Mendadak rasa kosong itu hadir, 
Hampa terasa begitu nyata,
Ketika sapa manjamu tak lagi kudengar, 
Meski lewat mimpi sekali pun.

 


Tolong, cukup aku!

Hati yang patah ditikam kecewa bertubi-tubi

Setelah kumenyerahkan segalanya

Lalu kau lupakan aku begitu saja


Aku tak pernah merisaukan kesendirian, ⁣
Sebab, aku sudah terbiasa menikmati sunyi, ⁣
Menyelami hening di antara rindu yang bertandang.⁣

Adalah rindu..,
Jalan berliku yang kutempuh diam-diam,
Di antara resah yang tumbuh pelan-pelan.


Di antara tanya yang berkeliaran,
lagi-lagi aku tetap membisu,
tak mampu menjawab,
kenapa kau yang dipilih hatiku.


Perlahan resah hadir mendekap,
Memeluk diri yang terpasung sepi,
Lantaran kini jarak yang kian tersekat,
Membatasi aku dan kamu untuk bersatu.

Aku masih menunggumu,
bukan tentang seberapa lama waktu yang terbuang,
bukan seberapa kuat melawan bosan yang menghantui,
bukan juga seberapa tegar menepis sepi yang terus mencerca. ⁣

Kembali rasa asing itu hadir,
Menyusup dalam sunyi yang ringkih,
Endapkan luka yang menguras air mata,
Perih yang menancap seharusnya membuatku meronta,
Tapi aku membungkamnya dalam diam.