Awalnya, persahabatan kami terasa sederhana dan hangat. Saya dan Dimas (bukan nama sebenarnya) sudah berteman sejak bangku kuliah, melewati masa-masa sulit bersama: uang pas-pasan, tugas menumpuk, dan mimpi-mimpi besar yang sering kami bicarakan di warung kopi murah dekat kampus.
Kami saling mengenal kebiasaan masing-masing, bahkan bisa menebak isi pikiran hanya dari ekspresi wajah. Saat itu, saya tak pernah membayangkan bahwa sebuah hutang akan menjadi jarak yang tak kasat mata, namun perlahan merobek hubungan kami.
Semua bermula ketika Dimas datang ke rumah pada suatu malam. Wajahnya lelah, suaranya lebih pelan dari biasanya. Ia bercerita tentang masalah keluarganya dan kebutuhan mendesak yang tak bisa ditunda. Tanpa berpikir panjang, saya meminjamkan uang yang ia butuhkan.
Jumlahnya tidak kecil bagi saya, tapi saya percaya padanya. “Tenang, gue balikin secepatnya,” katanya sambil menepuk bahuku. Saya mengangguk, karena saat itu kepercayaan terasa lebih berharga daripada angka di rekening.
Bulan pertama berlalu tanpa kabar. Saya masih santai, berpikir mungkin ia sedang sibuk. Bulan kedua, saya mulai bertanya dengan hati-hati. Pesan saya dibalas singkat, penuh janji yang terdengar meyakinkan. Namun bulan demi bulan berikutnya, janji itu hanya menjadi kata-kata.
Setiap kali kami bertemu, suasana tak lagi sama. Obrolan ringan terasa dipaksakan, tawa tak lagi lepas. Ada keheningan yang menggantung, seperti hutang yang tak terucap namun selalu hadir di antara kami.
Saya mulai merasa bersalah setiap kali ingin menagih. Takut dibilang tak pengertian, takut persahabatan ini rusak karena uang. Tapi di sisi lain, saya juga mulai merasa tak dihargai.
Bukan semata soal uangnya, melainkan soal kejujuran dan tanggung jawab. Kepercayaan yang dulu begitu kuat, kini retak sedikit demi sedikit.
Puncaknya terjadi saat saya benar-benar membutuhkan uang itu kembali. Dengan berat hati, saya menagih lebih tegas. Dimas tersinggung. Suaranya meninggi, kata-katanya tajam.
Ia merasa saya tak lagi melihatnya sebagai sahabat, melainkan sebagai orang yang berhutang. Saya pun terluka, karena bagi saya justru sikap menghindar itulah yang menghapus rasa persahabatan.
Sejak hari itu, kami jarang berkomunikasi. Tak ada pertengkaran besar, tak ada perpisahan dramatis. Hanya jarak yang tumbuh perlahan, dingin dan pasti. Persahabatan yang dibangun bertahun-tahun runtuh oleh sesuatu yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kejujuran.
Kini, setiap kali melewati warung kopi tempat kami biasa duduk berjam-jam, saya teringat satu pelajaran pahit: uang bisa kembali, tapi kepercayaan yang rusak tak selalu bisa diperbaiki. Persahabatan, ternyata, punya harga yang jauh lebih mahal daripada sekadar hutang.



No comments:
Post a Comment